Tausiah Islami

SIAPA YANG BISA MASUK SURGA??

ISLAM dengan pemahaman yang  ada saat ini, menjadikannya sebagai salah satu dari sekian AGAMA KEBENCIAN. Apa itu agama kebencian? Agama yang surganya diyakini hanya diisi oleh orang-orang penganut agama itu sendiri. Apakah Agama Islam juga demikian? Dengan pemahaman yang ada saat ini, sayangnya YA. Tapi apakah benar demikian. TENTU TIDAK !

Permasalahan mendasar yang terjadi saat ini adalah bahwa hampir 99,9% di SELURUH DUNIA (saking besarnya) penganut agama Islam tidak bisa membaca kitab suci mereka yaitu Al Qur’an. Alih-alih membaca, ternyata mereka hanya diajarkan ber A-I-U saja, alias melafal saja. Mereka percaya bahwa Terjemah dan Tafsir yang beredar saat ini adalah 100% BENAR. WOW... SUNGGUH KONYOL!!!!.

Saya penganut agama Islam, saya belajar bahasa arab, dan tentu saja saya membaca Al Qur’an. Ingat!! saya MEMBACA, bukan ber A-I-U saja. Untuk saat ini, singkat saja, saya akan langsung memberikan keterangan yang saya dapat dari Al Qur’an yang kontradiktif (menurut orang) tapi benar adanya.

AGAMA : ISLAM (menentramkan-mendamaikan)

TUHAN : ALLAH (yang benar2 sangat patut disembah)

SURGA/NERAKA : Siapapunnnn... Siapapun bisa masuk surga ataupun neraka. Apakah kamu berKTP islam, kristen, katolik, hindu, budha, siapapun... MENGAPA kamu melakukan atau MENGAPA kamu tidak melakukan adalah NILAI-mu. Jika Allah menerima MENGAPA-mu, Insya Allah kamu akan masuk surga. Dan tentu saja sebaliknya. Maka dari itu, berhati-hatilah..berhati-hatilah dengan MENGAPA-mu.

MUSLIM : Orang yang mendapat mandat untuk damai dan mendamaikan. Jika ada yang mengaku muslim tapi bikin onar, bikin gaduh, apakah masih pantas menyandang gelar itu?

KAFIR (terhadap agama Islam) : Dari akar kata kaf-fa’-ro’, yang artinya menutupi. Orang yang dalam hatinya benar2 meyakini kebenaran agama Islam tetapi tidak mau mengikrarkannya. Mungkin..mungkin lho ya. Kalau dia masuk Islam, dia tidak dapat warisan. Atau mungkin orderan jadi sepi, dll. Jadi syarat utama agar orang bisa disebut kafir adalah bahwa hatinya harus benar2 yakin akan kebenaran agama Islam. Pertanyaannya, apakah kamu mampu melihat isi hati manusia. TIDAK SEMUA non agama Islam bisa disebut kafir, bro!!

MUSYRIK (terhadap Allah) : Dari akar kata syin-ro’-kaf yang artinya libat, terlibat, melibatkan. Allah tidak suka penganut agama Islam ikut terlibat dengan urusanNYA (pemberian celaka & manfaat). Bagaimana sifat orang musyrik. Di Surat Al Baqoroh dijelaskan bahwa orang musyrik itu cinta kepada Allah tetapi juga cinta kepada jimatnya. Disuruh berhenti sholat tidak mau, disuruh membuang jimatnya juga tidak mau. Jadi syarat utama agar orang bisa disebut musyrik adalah bahwa dia mencintai Allah. Pertanyaannya, pengikut non agama Islam mana, yang mencintai Allah. Bahkan semua orang non agama Islam TIDAK BISA disebut musyrik, bro!!

Pernah dengar pepatah ini : “PADA SETIAP WAJAH, ADA SESEORANG YANG MENOLEH PADANYA”. Pada setiap pendapat, ada yang memegangnya. Pada setiap kepercayaan, ada yang menganutnya. Pada setiap agama, ada yang memeluknya. Maka lakukan kebaikan yang diajarkannya. Nanti, dimanapun kalian berada, kalian akan dikumpulkanNYA...... Apakah ada vonis disini. Siapa masuk surga, siapa masuk neraka??!. JANGAN MEMVONIS, BRO!!! Jangan pakai Lakum diinukum wa liyadiin. Itu dipakai agar kamu TIDAK KEBABLASAN dalam mengatasnamakan TOLERANSI. Hari Jum’at, Jumatan. Hari Minggu ke Gereja. Hari Nyepi ikut ritual nyepi. Paham bro??

Hati-hati!!!!! Siapapun yang berpandangan bahwa : Yang bisa masuk surga HANYA yang "berKTP Islam", yang berpandangan bahwa : Selain budaya arab adalah SESAT-HARAM-BID'AH, maka dia memiliki POTENSI sebagai seorang TERORIS !!!!!!!!!

Pesan saya buat kamu yang mengaku penganut agama Islam. Jangan ber A-I-U saja. Itu bukan membaca. Belajarlah TATA BAHASA ARAB. Lalu bacalah Al Qur’an. Baru kamu akan mengerti apa yang saya sampaikan ini. Kamu akan mengerti bagaimana penjelasan Allah SWT tentang semua makhlukNYA, yang DIA ciptakan berbeda-beda. Beda bentuk, beda pemikiran, beda keyakinan, beda pemahaman. Salam damai saudara sebangsa dan setanah airku. Salam damai Indonesiaku. Saya pelajar Qu’ran. I’m Qur’anic Learner.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
 
PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Nikah beda agama terjadi sejak zaman Nabi Muhammad masih ada. Moqsith Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abu al hash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam karena dilangsungkan sebelum Islam. Namun yang menarik setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi, Abu al Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap memilih agama moyangnya, seperti penduduk Mekah lainnya. Bahkan ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama istri masih bertahan di Mekah. Abu al-ash malah ikut bersama golongan pembenci Islam memerangi ummat Islam. Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atas keterlibatannya dalam perang Badar dan perang Uhud. Ia diminta uang tebusan dan Nabi juga meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.

Dalam berbagai buku sejarah dikisahkan sejak Zainab hijrah ia terpisah bertahun-tahun dengan Abu al-Ash. Mereka baru hidup serumah setelah Abu al-Ash masuk Islam. Menurut Ibn Katsir kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab TANPA AKAD NIKAH BARU. Menurut ulama yang menyatakan pernikahan beda agama DIBOLEHKAN, kisah ini membuktikan kalau pernikahan beda agama adalah SAH.

Nabi juga pernah menikahkan anak perempuannya Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi juga tidak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan karena permintaan nabi, tapi karena Abu Lahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan anaknya menikah dengan Ruqayyah yang beragama Islam. Jadi seandainya tak ada pemintaan cerai pernikahan itu akan tetap berlangsung.

JADI... APA PERMASALAHAN YANG TERJADI SEKARANG INI?
Permasalahannya adalah bahwa hampir semua penganut agama Islam TIDAK BISA MEMBACA AL QURAN!!!
Perhatikan penjabaran saya :
Sejarah Rasulullah : Menikah beda agama, BOLEH !!
Anjuran Ulama : Laki2 BOLEH, Wanita TIDAK!!
Firman Allah dalam Al Qur’an : JANGAN MENIKAHKAN !! Laki MUKMIN (pada Allah) dengan wanita MUSYRIK (pada Allah) atau Wanita MUKMIN dengan pria MUSYRIK.
Selama kita masih menganggap kalo MUSYRIK = agama lain, maka kita hanya akan mendapati pemahaman yang KACAU BALAU dan saling bertabrakan antara Rasulullah - Ulama - Al Qur’an!!
Bro... saya beritahu ya... Musyrik itu percaya kepada Allah SWT tapi juga mencintai jimatnya dan ritual2 pada selain Allah SWT. Dengan kata lain Musyrik itu penganut Islam tapi SELINGKUH dari Allah SWT!! Paham Saudaraku. Sedangkan Mukmin itu orang yang setia 100% pada Allah SWT.
Jadi kita DILARANG menikahkan ORANG YANG SETIA dengan TUKANG SELINGKUH alias DUKUN alias PENGGUNA JIN dan segala hal yang sejenisnya!!
Sudah saatnya kita belajar tata bahasa Arab masbro!! Bukan cuma melafal : bismillahirrohmanirrohim... a i u... a i u... a i u... a i u... a i u... a i u... shodaqollahul’adhim. Terus ditanya artinya, jawabnya TIDAK TAHU. Membaca adalah memahami.... saudaraku. Namun pilihan ada ditangan kalian. Saya tidak bisa memaksa karena pengetahuan kita memang berbeda. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Salam damai Indonesiaku, salam damai saudara sebangsa dan setanah airku. Saya penganut agama Islam. i’m Quranic Learner.
 
  :::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
 
Senin, 27 Juni 2016
MEMBACA atau MELAFALKAN ??

Oleh: Satya Adhi (saluransebelas.com)


SEMUA bermula pada suatu malam 14 abad silam. Muhammad, seorang pedagang Arab yang tuna aksara, melanjutkan pertapaannya di sebuah gua di pinggiran kota Mekkah. Pada malam pertapaannya yang kesekian kali itu, Muhammad terguncang oleh dekapan seseorang yang belum pernah ia lihat. Dialog bersejarah pun terjadi. Antara Jibril sang malaikat utusan Tuhan, dengan Muhammad sang rasul yang baru diangkat. Jibril menyampaikan perintah yang khas dengan nilai intelektualitas. Membaca.

Perintah yang Tuhan sampaikan melalui Jibril itu lalu diabadikan dalam Quran surah Al-Alaq ayat 1-5. Perintah yang mengawali kembalinya seorang rasul setelah lebih dari 500 tahun dalam status “kekosongan kekuasaan.” Sekaligus menandakan rasul pertama dari bangsa Arab yang diutus Tuhan.

Muhammad seorang tuna aksara. Begitu juga orang-orang yang mengikutinya di awal periode dakwah. Strategi pemahaman firman Tuhan lantas dilakukan melalui pembacaan publik, bukan melalui pembacaan aksara Arab seperti sekarang. Keadaan ini yang membuat warna budaya lisan masih kental dalam ayat-ayat Quran. Warna yang membuat Quran dianggap sebagai puisi aliran baru dalam sastra Arab abad ke-7.

Tuhan memang Maha Tahu. Dia sengaja menyampaikan firman melalui bahasa yang puitis, bukan ilmiah-analitis. Memudahkan pengikut awal Islam dalam memahami – bahkan menghafal – ajaran Tuhan yang tergolong baru dan kontroversial saat itu. Surah Al-Alaq ayat 1-5 misalnya, mempunyai struktur bahas dan bunyi rima yang khas. Sehingga sampai sekarang pun, para siswa Sekolah Dasar (SD) sudah mampu menghafalnya dengan mudah, cespleng.

Karen Armstrong melalui Sejarah Tuhan: Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia (Mizan, 2015) bahkan menuliskan, “bagi orang yang tidak bisa mengapresiasi keindahan bahasa Arab yang luar biasa, Al-Quran tampak membosankan dan bertele-tele karena sering mengulang-ulang tema yang sama.” Wajar saja bila ayat-ayat Quran dianggap demikian. Rima-rima yang khas, pola yang sama, dan formula yang mudah dihafal, sangat membantu Muhammad dalam menyampaikan dakwahnya. Akan sia-sia bila Quran, misalnya, memiliki gaya bahasa laiknya makalah ilmiah yang tak berpola dan penuh dengan analisis rumit. Budaya lisan membuat “… pikiran semacam itu begitu selesai diupayakan tak akan pernah bisa dimunculkan lagi secara efektif, sebagaimana yang mungkin dilakukan dengan bantuan tulisan” (Ong, 2013: 53). Alih-alih analitis, gaya bahasa lisan lebih bersifat agregatif. Ia merupakan pengumpulan beragam satuan; istilah-istilah, frasa-frasa, dan klausa-klausa. Kalau tak begini, bisa jadi usai dibacakan di depan para sahabat, ayat-ayat Quran hanya akan menguap di udara. Sulit dihafal.

Quran mulai disusun secara lebih sistematis sekitar 20 tahun setelah sang rasul wafat. Umat Islam zaman itu mulai sadar bahwa kemampuan memori manusia memiliki batas. Walaupun tetap melahirkan penghafal Quran dari generasi ke generasi, mereka ingin mengunci firman Tuhan ke dalam sebuah medium baku. Bila ada kealpaan dalam melafalkan, mereka bisa melakukan koreksi dengan melihat ayat-ayat yang tertulis. Penyusunannya pun tak serampangan. “Para editor meletakkan surah-surah terpanjang pada bagian awal dan yang tersingkat di bagian akhir” (Armstrong, 2015: 223). Surah-surah disusun dalam urutan yang tematis. Kehadiran Tuhan di dunia, kehidupan para nabi, Hari Akhir, dan sebagainya.

Muhammad memang mendakwahkan Quran secara lisan karena ia seorang tuna aksara. Tapi penguncian Quran ke dalam medium tulis menyiratkan kemampuan lebih yang ingin dicapai umat Islam zaman itu. Quran ingin bisa dimaknai secara lebih analitis. Konsekuensinya, Quran zaman Muhammad yang komunal, akan berubah menjadi lebih individual. Dari budaya lisan, ketika pembawa pesan harus berada di ruang dan waktu yang sama dengan penerima pesan, umat Islam bergerak ke budaya tulisan. Dalam hal ini, pembaca hanya berhadapan dengan medium tulisan, kertas misalnya, tanpa harus berada di ruang dan waktu yang sama dengan Muhammad.

Kegiatan membaca tulisan membutuhkan internalisasi personal ke dalam setiap diri pembaca. Berbeda dengan menyimak suara yang membutuhkan kedekatan dengan pembicara dan kedekatan dengan objek yang disampaikan. Qur’an yang sempat dianggap puisi aliran baru, kemudian harus dipahami seperti naskah-naskah sejarah dan kitab hukum dengan penafsiran beragam.

Pergerakan Islam dalam pembacaan kitab suci lantas tersaingi oleh umat Protestan pada abad 15. Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg – seorang Jerman –membuat tulisan yang elitis berubah menjadi barang yang bisa diakses publik dengan mudah. Injil menjadi kitab suci pertama yang dicetak dan dipublikasikan secara masif. Membikin umat protestan bergerak lebih cepat dalam membangun peradaban.

Tapi mesin-mesin cetak lain bersebaran di penjuru Eropa. Hampir semua naskah, termasuk Quran, hanyut dalam arus percetakan kala itu.

Menjelma Mantra
Percetakan kitab suci menyebabkan konsekuensi lain, yakni lompatan bahasa. Bahasa Arab di Timur Tengah melompat jauh ke negara-negara non-Arab. Di Indonesia, seiring berdirinya kerajaan Demak di pulau Jawa pada akhir abad 15, masuknya bahasa Arab dalam Quran menghasilkan pertarungan kebudayaan yang sengit: Arab dengan Jawa.

Munculah pesantren-pesantren sebagai institusi religius-intelektual masyarakat Jawa yang memeluk Islam. Para pengajarnya adalah kiai-kiai yang memiliki kelebihan dalam kebijaksanaan religius. Mengajar murid-muridnya agar mencapai kebijaksaan religius pada tingkatan tertentu. Walau pada dasarnya, wibawa kiai bergantung “pada penguasaannya akan kosakata esoteris. Unsur paling penting dalam kosakata ini adalah kemampuan berbahasa Arab” (Anderson, 1996: 128).

Pengajaran Quran di pesantren Jawa awal disampaikan lewat praktik penghafalan firman-firman Tuhan. Mirip dakwah awal Muhammad pada pengikutnya. Pelafalan secara terus menerus sampai ayat-ayat suci tertanam dalam memori. Tapi minimnya kemampuan para murid dalam berbahasa Arab memberi dampak besar. Ayat-ayat Quran dalam bahasa Arab harus diterjemahkan dalam bahasa Jawa supaya bisa dipahami. Sementara ayat-ayat dalam bahasa Arab menjelma mantra-mantra magis yang tak kunjung diketahui maksudnya. “Islam telah melarang penggunaan lebih lanjut mantra Shiwa dan Tantra; lalu Jawa menjawabnya dengan mengubah Al-Quran menjadi sebuah buku mantra” (ibid.). Ironis.

Perlakuan Quran sebagai mantra masih bertahan hingga sekarang. Ia hanya dilafalkan untuk keperluan keindahan pendengaran, bukan dalam rangka peningkatan intelektualitas umat. Doa-doa terasa tidak afdol kalau belum diucapkan dalam bahasa Arab, tapi yang mengamini tidak tahu apa artinya.

Tujuan analitis dari pembukuan Quran telah berubah menjadi degradasi pemaknaan ayat Tuhan. Terlalu asyik melafalkan Quran tanpa menganalisisnya, bisa berujung pada tidak sampainya pesan Tuhan kepada manusia. Apalagi konteks dan keadaan Quran ketika pertama diturunkan jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Apa gunanya membaca bila tak mengerti apa yang dibaca? Inilah kegunaan membaca secara analitis. Dengan cara membaca semacam ini, objek bacaan yang jauh dari konteks dan keadaan kita, bisa dipahami dengan lebih mapan. Tentunya kegiatan membaca tidak cukup dengan membaca sebuah buku. Membaca membawa kita dari satu buku ke buku-buku lain yang berkaitan. Memantapkan pemahaman, menajamkan pemikiran.

Kegagalan membaca Quran memiliki konsekuensi besar bagi intelektualitas umat. Alih-alih melakukan analisis (karakter budaya tulisan), mereka yang hanya melafalkan Quran akan lari kepada budaya lisan. Budaya yang dimaksud adalah budaya dakwah populer lewat televisi. Ini semakin gawat karena kaum urban, yang katanya tidak punya waktu untuk membaca, menjadikan dakwah televisi sebagai sumber ajaran agama.

Para pendakwah televisi tampil layaknya bintang musik. Semua gaya, cara bicara, busana, dan benda-benda lain ditempatkan di depan kamera supaya enak dipandang lewat layar kaca. Pendakwah sebelum era televisi mengabdikan dirinya untuk mengkaji ilmu secara bertahun-tahun lamanya. Mereka lari dari satu buku ke buku lain, dari satu kitab ke kitab lain. “Sebaliknya, generasi pendakwah baru yang merupakan figur-figur religius mentereng tidak dihasilkan oleh pendidikan keagamaan formal yang berlangsung selama bertahun-tahun” (Heryanto, 2015: 55). Lantas, apa bekal mereka? “Modal utama mereka adalah keterampilan komunikasi yang hebat, keunggulan dalam bicara di depan umum, dan penggunaan media baru” (ibid). Bahkan beberapa ahli menganggap dakwah semacam ini merupakan bentuk baru dari komodifikasi ajaran agama. Tuhan dijadikan barang dagangan! Mereka menyasar kaum urban yang tak punya waktu banyak untuk belajar agama namun tetap ingin mempertahankan ketakwaan.

Penerjemahan Quran dalam bahasa lokal sebenarnya membuka kesempatan dalam memahami ajaran agama lebih dalam. Hanya saja membaca Quran yang berpahala terlanjur dipahami sebagai pembacaan ayat – dalam bahasa Arab – tanpa tahu maknanya. Sementara membaca arti Quran adalah aktivitas sekunder. Belum lagi, membaca secara analitis bukanlah pekerjaan yang ringan. Namun kalau bisa dilakukan, hal ini akan menjadi langkah besar dalam membangun peradaban umat. Bukankah Tuhan menyuruh manusia, “bacalah!” bukan “lafalkanlah!”
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar